Laman

Minggu, 18 Juni 2023

Komparatif Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Berdasarkan pengertiannya, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penolakan untuk membayar, penghindaran, atau perlawanan terhadap pajak pada umumnya termasuk pelanggaran hukum. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwasannya pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh setiap warga negara dan menolak pembayaran pajak merupakan suatu pelanggaran hukum. Pemerintah mengelola perpajakan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS), hampir setiap tahun penerimaan pajak di Indonesia selalu mengalami kenaikan yang bervariasi. Pajak di Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu Pajak Dalam Negeri dan Pajak Perdagangan Internasional. Pajak Dalam Negeri sendiri terdiri atas : 1) Pajak Penghasilan (PPh), 2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), 3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 5) Cukai, 6) Pajak Lainnya. Sementara itu Pajak Perdagangan Internasional terdiri atas : 1) Bea Masuk, 2) Pajak Ekspor. Berdasarkan data dari BPS, penerimaan pajak di Indonesia dari tahun ke tahun selalu didominasi oleh penerimaan Pajak Dalam Negeri. Pajak dalam negeri memiliki proporsi mencapai lebih dari 90% dari total penerimaan pajak. Oleh karena itu pemungutan Pajak Dalam Negeri di Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus agar penerimaan pajak dapat optimal, disamping pemerintah Indonesia perlu untuk meningkatkan Pajak Perdagangan Internasional melalui bea masuk dan ekspor.

Sejak tahun 1983 pemungutan pajak di Indonesia menganut sistem self assessment dimana wajib pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab dalam mengurus perpajakannya sendiri (menghitung, membayarkan, dan melaporkannya secara mandiri). Hal ini berbeda dengan pemungutan pajak official assessment dimana petugas administrasi pajak dapat menentukan besaran pajak terutang wajib pajak. Namun apakah sistem self assessment sebenarnya lebih efektif dalam pemungutan pajak?

Menurut hemat saya, sebagian besar masyarakat di Indonesia tidak memiliki pemahaman pajak yang benar. Hal tersebut ditambah dengan aturan-aturan yang berderet dan berlapis dari perpajakan di Indonesia. Bahkan dari 10 orang yang saya temui hanya satu orang yang benar-benar paham mengenai pajak, itupun karena telah berkecimpung lama dalam hal keuangan kantor. Pemahaman yang buruk akan perpajakan dapat menimbulkan kesalahan dalam perhitungan pajak ataupun pelaporannya dan dapat menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan pajaknya karena ketidaktahuan wajib pajak akan aturan perpajakan. 

Upaya pemerintah dalam mempermudah pembayaran dan pelaporan pajak melalui digitalisasi pajak memang harus diacungi jempol. Namun sebagai orang awam yang tidak tahu menahu tentang pajak tentu saja tetap menyulitkan. Bahkan ancaman denda ataupun pidana bila terjadi kesalahan maupun keterlambatan penyampaian laporan Pajak menyebabkan masyarakat menjadi semakin takut dan enggan melaporkan pajaknya secara benar.

Sehingga pemungutan pajak official assessment sesungguhnya lebih efektif diterapkan di Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam era digitalisasi dan e-commerce saat ini sebaiknya pemerintah perlu mengkaji lagi aturan pemungutan pajak secara official assessment yang terintegrasi dengan data-data digital. Contohnya, pemerintah (dalam hal ini Dirjen Pajak) bekerja sama dengan perusahaan pemberi kerja dan bank dalam pemungutan pajak penghasilan sehingga gaji yang diterima oleh karyawan secara otomatis telah terpungut pajaknya tanpa pekerja harus memikirkan bagaimana menghitung, membayarkan dan melaporkannya setiap tahun. Contoh kedua, pemerintah dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat bekerja sama dengan e-commerce sehingga orang yang bertransaksi secara online otomatis sudah terpungut pajaknya tanpa perlu memikirkan pajak lagi. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika transaksinya tidak secara online?

Pemerintah perlu mendorong digitalisasi di semua sektor baik barang maupun jasa. Digitalisasi yang terintegrasi dapat mendorong penerimaan pajak semakin efektif dan efisien. Selain itu sistem pemungutan pajak secara official assessment yang terintegrasi dengan digital dapat mengurangi kecurangan maupun kelalaian dalam hal penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak. Dirjen Pajak pun tugasnya menjadi lebih ringan karena tidak perlu repot-repot memeriksa, menagih maupun mengkampanyekan pembayaran pajak karena pajak sudah secara otomatis. Apabila ada yang ingin menyanggah karena pajak terlalu besar, Dirjen Pajak dapat memberikan wadah khusus seperti penyampaian "Live Q&A" dan media layanan konsumen (costumer care) terkait perpajakan.  

Pemerintah saat ini juga mengupayakan pengawasan pajak pelaku usaha dengan tapping box yang dapat merekam catatan transaksi dan berfungsi untuk membandingkan antara total transaksi yang ada dengan jumlah pajak daerah yang perlu dibayarkan. Menurut saya hal tersebut cukup bagus namun alangkah baiknya apabila alat semacam tapping box tersebut tidak sekedar sebagai alat pengawasan namun juga digunakan langsung untuk menetapkan jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha. Seperti halnya dengan pajak kendaraan yang dibayarkan setiap tahun dengan cara yang mudah dan simpel, seharusnya PPh dan PPN maupun pajak yang lainnya dapat dibayarkan dengan cara yang simpel tanpa harus memberikan laporan-laporan yang membutuhkan effort ekstra dari pekerja maupun pelaku usaha.

Selain itu, sebagai bentuk akuntabilitas kinerja pajak, maka Pemerintah seharusnya dapat mendiseminasikan hasil pemanfaatan pajak kepada masyarakat secara tepat sasaran melalui sejumlah media sosial dan daring dengan pengawasan langsung dari Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan bekerjasama dengan OJK dan setiap K/L di level pusat dan daerah. Sehingga segenap elemen masyarakat sebagai subjek dan objek pajak sekaligus user dapat ikut serta mengawal dan mengawasi penggunaan pajak secara lebih efektif dan transparan.